Kamis, 03 Oktober 2013

Pesan dari Jupiter



                Malam sudah hampir larut, aku masih saja tak dapat memejamkan mataku. Entahlah, sepertinya  ada banyak hal yang berlarian difikiranku. “Lupakan! Itu hanya sugesti negatif saja” Aku berusaha menyemangati diriku sendiri. Aku berjalan bolak-balik didalam kamar, berusaha mencari cara untuk dapat tertidur. “Bruuuaaaakk....” aku menabrak meja belajarku dan buku pelajaranku berantakan. “Ken, masih idup?” terdengar suara teriakan bang Malvin dari luar pintu kamar, ku bukakan pintu kamarku. “Masih bang, kenapa?” kujawab dengan halus, tak perduli abangku berteriak tadi, ya dia abangku. “Kenapa belum tidur lu?” tanyanya seraya menepuk pundakku. “Kaga tau nih bang, susah banget meremin mata, harus di lem apa?” candaku diikuti tertawa kecil. “Tuh lem kayu di bawah lemari kalo lu mau” bang Malvin menggubris gurauanku dengan nada serius, aku memukul lengannya dan kita tertawa bersama. “Bang, Kenny boleh ke bale-bale nggak?”  pintaku. “Boleh tapi jangan lama-lama ya ntar lu kemasukan angin topan lagi” jawabnya dengan sedikit gila “Sialan lu” aku mengerucutkan bibir dan lalu berbalik badan bergegas meninggalkan abangku.
                Tengah terduduk aku sendirian, di halaman belakang rumahku, tepatnya di bale-bale rumah yang sengaja papa buat dulu sewaktu aku dan bang Malvin kecil. Seperti dilematika besar yang sedang kurasakan. Hatiku tak menentu, mulai terasa bergejolak dan mataku siap mendukung dengan meluncurkan  butiran-butiran kecil airmata. Sejenak, aku menatap bintang malam antara pukul setengah satu dini hari, mungkin. Kuacungkan kedua jari telunjuk dan jari tengahku. Itu radar Jupiter yang biasa ku kirimkan pada kapten saat aku ingin berkomunikasi dengannya. Ada yang berbeda kali ini, ya aku berkomunikasi dengan kapten tanpa rekan kerjaku, Artha. Entahlah, akhir-akhir ini banyak alasan untuk kita tidak bersama. Sungguh bukan harapan, namun ya kenyataannya kami sedang saling berjauhan. Lagi. Aku menangkap pantulan sinyal yang tak biasanya, semakin aku penasaran. Kucoba berbicara dengan yang ada disana. “Dengan radar, wahai Jupiter, siapakah ini tangkap radarku?” aku mengirim komando utama. “Kapten Kenny, kau tanpa Artha?” jawab seseorang disana. “Ya kapten, aku terima radarmu. Tidak, aku seorang diri” aku memperjelas. Kali ini sangat berbeda, entah komando apa yang akan ku terima, hatiku serasa dagdigdug menebak-nebak ucapan kapten selanjutnya. “Ken, bisa kau terima pesan dengan amat baik?” tanya Kapten padaku. “Tentu Kapten!” jawabku sigap.




Untuk Kenny&Artha
Untuk kedua agen yang teramat baik, saya bangga dengan kalian. Kalian dapat melindungi Jupiter dengan kedamaian, ketentraman, dan kasihsayang. Mungkin hanya kalian, agen terbaik seantero jagat raya. Kami beruntung dapatkan kalian disini. Kini kalian dapatkan hidup kalian masing-masing lagi, saya serahkan kembali kebebasan kalian untuk bergerak, tak perlu fikirkan lagi tugas yang kalian emban, Jupiter kini telah aman. Gapai apa yang ingin kalian gapai. Hidupkan hati dan jiwa kalian di dunia baru yang kalian mau. Kami selalu mendukung kalian, jangan khawatir akan Wigo. Dia sudah aman dalam jebakan yang kalian buat, dia tak akan hidup untuk kembali. Terimakasih Kenny&Artha. Tugas kalian selesai. Saya bebaskan hukuman kalian. Saya bebaskan pilihan hidup kalian. Kalian hidup terpisah sekarang, saya yakin tujuan hidup kalian pasti berbeda, pilihlah hidup kalian masing-masing.
Salam dengan Radar! Dariku Kapten Jupiter



Begitu kira-kira  dengan  baik aku coba menangkap pesan dari radar diseberang sana. Tak terasa tetesan air mata membasahi sekeliling wajahku, dengan tanpa asa aku menjerit dengan histerisnya. Aku bahagia, tugas kami selesai dan kuyakin Artha pun sama bahagianya. Tapi aku pun bersedih. Aku tak mau dipisahkan dengannya. Namun, kapten benar. Kami punya hidup yang berbeda. Mungkin aku dengan pekerjaanku, dan dia dengan pekerjaannya. Aku dengan kegilaanku dan dia dengan keseriusannya. Aku dengan pria idamanku, dan dia dengan wanita idamannya. Siapa yang tau? Kami tak bisa terus bersama, aku tak mungkin menghambat kebahagiaanya atas keegoisanku kelak karena tak ingin dia pergi dariku. Tuhaaaan... Haruskah secepat ini? Artha, percayalah bahagiamu bukan padaku. Kau hidup bukan saja untukku. Betapa aku menyayangi dan mencintai kebersamaan kita, tapi yakinlah bahwa akan ada seseorang yang siap untuk lebih mencintai kebersamaan kalian, dibanding aku. Untuk siapapun itu, kutitipkan Artha padamu atas titah kapten. Dan tugas kita berakhir disini, Artha.

Cinta dan Edelweiss itu abadi....



 
Judul : Love, Edelweiss,  and Me
Penulis : Monica Anggen
Editor : D. Mulyani  & Adrian R. Nugraha
Penerbit :  Rumah Kreasi
Cetakan : Cet.1 – Malang: Rumah Kreasi 2012
Tebal : IV + 204 hlm; 13 x 19 cm
ISBN : 9786027517271

Buku ini merupakan buku kedua yang diterbitkan dari hasil karya sang penulis, Monica Anggen. Buku ini berbeda dari buku anak-anak yang biasa ditulis olehnya, karena buku ini lebih bergenre romantis dan dewasa. Cerita dalam novel ini dibuat ‘based on true story’ atau berdasarkan kisah nyata.
Buku ini mengisahkan kehidupan seorang gadis, sebut saja dia Sasa, pasca kehilangan cinta pertamanya. Kekasih yang dianggapnya hanya sebatas ‘cinta monyet’ namun dapat bertahan hingga enam tahun lamanya. Ari, sosok itulah yang selalu menghantui mimpinya. Hari-hari Sasa terasa sangat hancur tanpa Ari disisinya. Hidupnya berantakan dan tak beraturan.
Enam bulan tanpa Ari, kenangan-kenangan dan bayang-bayang wajah Ari yang selalu mengikuti Sasa, membuatnya benar-benar hancur. Seperti pada suatu malam, enam puluh lima reguk Tequila dalam satu kali minum dapat dia lakukan. Segala upaya Sasa kerahkan untuk membuang semua kesedihan tentang Ari. Namun ternyata selalu gagal, Ari telah masuk terlalu dalam dihidupnya.
Hingga pada suatu saat datanglah sosok yang sebenarnya sudah lama ada disekitar Sasa, namun ia tak menyadarinya. Pria yang tinggal di sebelah kos-an Anya, satu kampus bahkan satu kelas dengan Sasa. Pria pendiam dan sangat pemalu yang dikenal oleh teman-temannya itu bernama Rudi.
Hari demi hari berganti, upaya Sasa untuk melangkah dari ratapan sendunya tentang Ari tak kunjung berhasil. Mendung yang selalu terlihat diwajah Sasa kini kian tergambar nyata. Namun Rudi berusaha menggantikan posisi Ari. Dari mulai memperhatikan semua tingkah lakunya, hingga menghalau Billy yang selalu saja mengganggu Sasa dan membuatnya bersedih. Sasa merasa ada yang berbeda dari seorang pria pemalu yang ia kenal  itu. Terjadilah kedekatan diantara mereka yang sebenarnya membuat Sasa jatuh hati pada Rudi. Namun, Sasa masih enggan mengakuinya karena baginya ‘Cinta itu Ari’.
Suatu ketika, Sasa mendapat tugas dari dosennya yang membuat teman-temannya berusul untuk turun langsung ke lapangan. Mencari daerah yang tak biasa untuk dijadikan komplek perumahan. Mereka memilih untuk datang ke daerah gunung Bromo, tempat yang sangat menyakitkan bagi Sasa karena mengingatkannya pada setangkai Edelweiss yang pernah Ari berikan untuknya saat mereka berada di puncak Bromo. Yang menandakan keabadian cinta mereka.
Terjadilah sebuah tragedi yang cukup tragis hingga meninggalkan bekas luka yang cukup parah diwajah Sasa. Berbulan-bulan Sasa dirawat dirumah sakit karena kondisinya yang sangat parah. Sasa sangat membenci Rudi. Dan rasa bencinya semakin menjadi ketika Rudi mengatakan akan menikahi dan merawatnya seumur hidup. Namun lama kelamaan rasa benci itu luntur, menyadari bahwa Sasa pun mencintai Rudi dan tragedi itu bukan sepenuhnya salah Rudi.
Dalam situasi itu, Ari kembali membawa segenggam harapan dapat kembali memeluk Sasa-nya yang telah ia tinggalkan cukup lama. Dimulai dari teror-teror melalui Blackberry Messanger-nya, hingga selalu muncul pria misterius didekatnya ketika malam hari. Semua itu membuat Sasa stres dan berusaha mencari Rudi yang akhir-akhir ini sibuk dengan kuliah serta pekerjaannya yang telah lama dia korbankan untuk Sasa.
Mengapa dulu Ari meninggalkan Sasa ?
Apa yang terjadi di Bromo hingga Sasa sangat membenci Rudi ?
Lantas siapakah yang akan Sasa pilih? Ari, cinta sejati  yang telah meninggalkannya? Atau Rudi, pria pemalu yang telah mengorbankan apapun yang ia miliki untuk Sasa?
Kelebihan : alur cerita yang berbeda, tersaji dengan amat apik dan menarik, terdapat berbagai rangkaian kata romantis yang cukup menyayat hati.
Kelemahan : Covernya tidak begitu menarik, tidak berkaitan dengan isi novel.

All about Yupiter IV



Jebakan Mayor Wigo
                Suatu malam, di bale-bale rumahku. Aku dan Artha sedang duduk berdua dibawah terang sinar rembulan. “Bagaimana keadaan di Jupiter sana ya Tha?” tanyaku, Artha memandangku sejenak “Pasang radar Jupiter, saya agak nggak enak hati Ken!” seru Artha. Aku mengacungkan kedua jariku sambil menutup mata, begitu pula Artha. Tak berapa lama, aku seperti melayang dari tempat dudukku. Aku melanglang buana menembus tiap-tiap dinding langit. Dengan Artha disampingku, aku tak terlalu menghiraukan semua hal janggal itu. Tibalah aku dan Artha di suatu tempat , tempat yang sepertinya pernah ku kenal. Aku melihat sekeliling area itu, tapi keadaan sepertinya menunjukkan bahwa didaerah tersebut telah terjadi pertempuran. Kulihat lagi dengan seksama tempat tersebut “Ken, kita kembali ke Jupiter?” tanya Artha. Aku mengusap mataku, ya kita kembali ke Jupiter!
                Aku dan Artha berjalan, nggak tau harus kemana. Terlalu lama kita di utus ke bumi sampai-sampai kita lupa setiap tempat yang ada di Jupiter. Yang pasti nggak ada mall disini hehehe :p Setelah cukup jauh kita berjalan, akhirnya kita menemukan suatu tempat yang sepertinya kuingat betul tempat apa ini, ini dia markas kapten. Aku dan Artha memberanikan diri melangkah masuk. Baru beberapa langkah kita berjalan, kita dihadang oleh beberapa alien dari Saturnus. Mereka membawa pedang laser biru yang . Aku mulai takut, tapi Artha menggenggam tanganku dan  meyakinkanku untuk tetap berani. Dengan sedikit rasa ragu, ku keluarkan pedang hijauku. Aku dan Artha pun berperang melawan pada alien itu.
                Setelah itu, kita melanjutkan perjalanan untuk masuk ke markas besar kapten, saat kubuka pintu markas , tak ada siapapun yang menyambut kita. “Dimana kapten dan para agen?” tanyaku pada Artha, Artha Cuma menggelengkan kepala. Ku pasang radar Jupiter dan kucari sinyal dari kapten. Aku berjalan menyusuri markas sambil diikuti Artha. Tibalah aku dan Artha di lorong bawah tanah, tempat penjara-penjara untuk para tawanan.  “Kenny, Artha?” terdengar suara memanggil kita berdua, seperti suara kapten. “Maju lah empat langkah” lanjutnya. Artha menarik lenganku, “Jangan!” katanya. Tapi aku tetap maju, tidak menghiraukan perkataan Artha. Sesaat, sel kecil turun dari atap tempatku berpijak. “Kenny awaaaass!!” teriak Artha. Saat aku melihat ke atas, apa daya sel sudah terjatuh dan aku terperangkap didalamnya. “Arthaaaa!! Tolong aku!” aku menjerit ketika sel itu terangkat keatas lagi.

Selamatkan kita Artha!
     “Hahaha betapa bodohnya temanmu!” terdengar suara itu menggelegar di kupingku, sesaat terlihat dari balik ruangan gelap itu, muncul sesosok makhluk buruk rupa. Dialah kapten Wigo! “Apa maksudmu? Kenny tidak bodoh!” aku membela Kenny “Aku tau tujuan kalian datang kesini, tapi percuma usahamu uan Artha! Semua itu sia-sia. Jupiter kini milikku! Hahaha” seru Mayor Wigo “Tidaaak! Jupiter ini tetap milik kapten dan para agen! Kau Cuma sampah disini! Dimana kau sembunyikan kapten dan yang lainnya? Tak tau malu kau Wigo laknat!” aku bersikeras. “Hahaha Artha... Artha.. Kau Cuma anak kecil yang baru tau apa itu cinta, nggak usah sok-sokan mau jadi pahlawan!” ledeknya “Sialan! Kuhabisi kau!” ancamku. Aku mengeluarkan pedang hijau ku. Dengan seketika, ia mengeluarkan pedang laser biru nya dan mulai menyerangku. Aku tidak cukup kuat untuk melawannya, aku pun terjatuh dan dijebloskan ke dalam penjara, dimana kapten dan para agen di tawan.
                “Artha! Dimana Kenny?” tanya salah seorang didalam sel itu,kulihat sekelilingku, kudapatkan kapten sedang duduk disampingku. “Dia di tawan didalam sel gantung kecil oleh Mayor Wigo” jawabku lemas. “Kenapa bisa?” tanya kapten lagi. “Dia nggak nurut kata-kataku, aku sudah bilang jangan maju dia malah maju, terperangkaplah akhirnya” jawabku agak sedikit kesal, tapi aku tetap sangat mengkhawatirkannya. “Artha, cuma kamu satu-satunya harapan kita, kamu harus selamatkan kita dan juga Kenny. Kalian agen terbaik diseluruh antero jagat raya ini” kata salah seorang agen. “Temanmu sudah mengakuinya kan Tha? Sekarang ini tanggung jawabmu” perkataan kapten sangat mendesakku, tanpa Kenny aku bukan apa-apa. “Saya berikan semua ini untukmu, saat keadaan terdesak semua ini akan sangat membantumu” kapten menyodorkan sesuatu padaku “Apa ini kapten?” tanyaku agak keheranan “Ini batu rubby jupiter, yang ini pasir oranye, dan satulagi Artha, saya akan memberikan sedikit kekuatan untukmu melawan mayor Wigo” begitulah kata kapten, kapten menjulurkan tangannya dan lalu memegang pundakku. Seperti ada suatu energi yang mengalir ke dalam tubuhku, entah apa itu, rasanya geli. Hahahaha
                Setelah kapten memberikan beberapa instruksi dan komando *sama aja ya? hehee* aku pun pergi tanpa berbasa-basi. Kucari si jelek Wigo itu, akan kubalas perbuatannya. Setelah cukup lama aku berkeliling-keliling markas besar kapten, akhirnya aku menemukan tempat mayor Wigo berdiam. Keadaan cukup aman, tak ada satu pun alien Saturnus yang berjaga disini. Aku melangkah masuk keruangan itu, namun tak kulihat meski batang hidungnya si Wigo itu  *ya aku lupa dia itu nggak punya hidung macam Voldemort di film Harry Potter hahahahaaa* “Kemana dia?” aku bertanya pada diriku sendiri.

Matilah kau Wigo!
Tiba-tiba ada yang melintas dari belakangku, semacam shuriken (tapi ini bukan cerita dari Jepang kan! Apakah aku masih boleh menyebutnya shuriken? Nggak apa-apa ya ? hehe) hampir melukai wajahku. Hufftttt.... untung nggak kena kepala sih ya, kalau kena ya entahlah. Lalu kulihat kearah belakang, ternyata beberapa alien dari Saturnus telah berjajar melintang dibelakangku, membentuk pagar yang siap menghalangiku pergi dari ruangan itu. Kuhunuskan pedang hijauku ke tubuh mereka bagai jagoan yang hendak menyelamatkan dunia dan matilah semuanya (apakah semudah ini? Wkwkwk kuserahkan semuanya pada imajinasi kalian masing-masing) aku segera berlari menyusuri lorong-lorong dalam markas tersebut, berlari melewati tiap jeruji sel yang disediakan untuk para penyusup. Tiba-tiba Wigo menghalau jalanku. Menyiapkan beberapa senapan yang isinya entah apa, namun kukira itu bukan peluru. Lebih mirip balon berisi air tapi warnanya sangat pekat. Oh tidak, sepertinya itu lumpur warna yang sangat lengket. Aku bergumul dalam hatiku. Senapan itu berkali-kali ditembakkan, dan aku berusaha menghindar. Tapi sial... tanganku tertembak dan yeaaaakkssss..... cairan pekat itu menempel pada tanganku. Aku teringat sesuatu, yaaaa pemberian kapten. Kurogoh saku celana kananku, kuambil sebugkus pasir oranye lalu kutiupkan ke arah Wigo. Dia meringis kesakitan tapi masih bisa menembakkan senapannya kearahku, lalu kulemparkan batu rubby jupiter ke arahnya. Kekuatan maha dahsyat yang dapat membuat tubuh Wigo meleleh. Dan setelah itu aku harap jupiter akan aman tanpa para mahluk jahat semacam Wigo.

All about Yupiter III



Because Of You
                “Ken! Kamu kenapa kemarin tiba-tiba hilang? Padahal Artha ngasih potongan kue ketiga buat kamu loh!” kata Tomi mengagetkanku. “Aku kebelet pingin ke toilet Tom, jadi aku buru-buru pergi hehehe” jawabku cengengesan. “Mbok, mie goreng satu ya!” teriak Rendy pada mbok kantin lalu mengalihkan pandangannya padaku “Iya Ken, kamu waktu dicari tiba-tiba nggak ada” . Aku cuma tersenyum mendengar pertanyaan berulang yang diucapkan Rendy. Shilla, Adel dan Stella yang duduk disebelahku hanya menatapku, sepertinya mereka tau aku sedang berusaha berbohong. “Ken, kamu suka sama Artha?” tanya Shilla beberapa saat setelah Tomi dan Rendy meninggalkan bangkunya. “Hah? Enggak kok Shil! Kenapa nanya begitu sih?” jawabku sedikit ragu. “Ken, kita tau kok. Kamu nangis kan waktu Artha kasih kue ke Regina? Sebenarnya kita bertiga lihat, Cuma nggak berani negur kamu aja” Stella membuatku kehabisan kata-kata, tapi aku tetap mengelak “aku benar-benar kebelet Stel, sorry aku nggak bilang waktu aku ninggalin kalian” . “Artha kelihatan kecewa banget waktu dia panggil namamu dan kamu nggak ada disitu, dari tadi di kelas pun dia nggak banyak bicara” Adel memotong pembelaanku. Aku cuma bisa menunduk. Aku bingung harus bagaimana, karena pada nyatanya apa yang mereka bertiga katakan itu benar. Aku mungkin bisa membohongi mereka, atau Rendy dan Tomi, bahkan Artha. Tapi aku nggak akan pernah bisa bohongin perasaanku.

∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞


Di ujung ombak Sengigi
                Tak terasa kini aku telah selesai menjalani ujian Nasional tingkat SMA. “Akhir bulan ini, sekolah akan mengadakan perjalanan wisata ke Lombok, bagi yang mau ikut diharapkan segera mendata dirinya ke panitia wisata tahunan. Terimakasih” kepala sekolah dengan ciri khas suaranya yang berat, berdeham-deham memberikan pengumuman tersebut diatas mimbar saat upacara berlangsung, semua siswa melompat kegirangan. Saat jam istirahat, terdengar hiruk-pikuk anak-anak yang sedang asyik membicarakan rencana liburan mereka, oleh-oleh apa yang akan mereka bawa, bahkan sampai baju-baju yang akan mereka kenakan. Aku menghampiri beberapa temanku, Stella , Adelia , Shilla , Rendy dan Tomi. “Ken, nanti ikut kan wisata tahunan?” tanya Rendy padaku. “Ikut kayaknya” jawabku singkat. Terlihat wajah Adel yang sedari tadi cuma cemberut membuatku angkat bicara lagi “Nggak apa-apa kali Del, itung-itung pulang kampung hihi” aku meledeknya. “Ya tapi kenapa harus Sengigi gitu? Itu kan deket banget sama rumahku dulu, bosen aku Ken” keluhnya. Anak-anak yang lain cuma terbahak mendengar ucapan Adel.
                Liburan pun tiba, semua siswa mempersiapkan diri untuk perjalanan wisata kita. Tapi sampai detik ini aku belum berani bertanya pada Artha. Sudah berapa lama aku tidak menghubunginya, berkomunikasi dengannya, bahkan melihatnya pun aku enggan. Aku masih ragu untuk kembali mendekatinya, dalam benakku aku berharap salah satu diantara kita ada yang mau menurunkan ego nya agar aku dan dia bisa kembali seperti dulu lagi, meskipun rasanya mustahil.
                Perjalanan pun dimulai, aku duduk disebelah Shilla saat di pesawat. Para pramugari mulai melakukan demo penyelamatan diri jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Setelah itu pesawat pun terbang . Sekitar setengah jam di atas langit, aku melihat Shilla tertidur dengan pulas, tapi aku nggak bisa. Aku mencoba melihat keluar jendela, terlihat awan-awan putih menyelimuti badan pesawat. Sejenak aku teringat akan Jupiter, apakah sudah tentram disana? Atau si Mayor Wigo itu masih saja ingin menguasai tambang berlian merah yang terdapat di belakang benteng pertahanan agen Jupiter? Aku terhanyut dalam khayalanku. Tak terasa pesawat pun take-off. Saat turun dari pesawat, semua siswa mengambil barang-barangnya dan bersiap menuju hotel.
                Selesai membereskan barang-barang, semua siswa diijinkan untuk berkeliling daerah Lombok. Aku dan teman-temanku berlarian menuju tepi pantai untuk melihat indahnya matahari terbenam. Aku memanfaatkan momen ini untuk berfoto. Kulihat banyak sekali pasangan yang menikmati indahnya sore hari di pantai Senggigi ini, di dekat batu besar itu terlihat Adel dan Detry sedang duduk berdua. Shilla dan Jody sedang bermain air di tepi pantai. Stella dan Nathan berkejaran seperti sedang memerankan film india. Aku cuma bermain pasir saja di tepian pantai, sambil melihat lembayung langit sore di pantai ini.
Sejauh mata memandang, aku tidak melihat pasangan itu sedang berduaan, ya siapa lagi kalau bukan Artha dan Regina. Baru saja aku memikirkannya, tiba-tiba Artha datang menghampiriku. “Ken...” panggil Artha. Aku tak menghiraukannya, pura-pura tak mendengar saja.. “Hey agen! Mau kah kamu mendengarkan laporan saya?” tanyanya, ah Jupiter! Aku nggak bisa menolaknya, selalu saja aku merasa tertarik “Jangan buatku penasaran! Cepat katakan, kenapa kamu kesini? Nggak takut pacar kamu marah memang ?” tanyaku ketus. “Pacar?” dia balik bertanya dengan nada yang sepertinya bingung. “Aku dan Regina udah putus setahun yang lalu. Dia lebih memilih Keano dibanding saya” jelasnya. “Setega itukah?” tanyaku lagi, sedikit tak percaya atas apa yang telah kudengar “Tentu. Tapi itu nggak terlalu penting buat saya. Tau kah kamu Ken, semenjak kamu menjauh dari saya, saya merasa kehilangan sesuatu, Regina bukan kamu Ken. Dia sama sekali nggak kayak kamu” dia berkata sambil memegang tanganku “Kenapa harus seperti aku? Cantikkan Regina dibanding aku, dia feminim dan lebih modis” aku sedikit merasa pahit dimulutku ketika aku mengatakan hal tadi, aku tiba-tiba merasa sangat bodoh. “Dari awal, saya merasa kalau kamu orang yang selama ini saya cari, saya sayang sama kamu Ken” perkataannya benar-benar membuatku terkejut. “Lalu kenapa waktu itu kamu jadian sama Regina?” aku bertanya dengan nada tinggi dan sedikit kesal, tapi Artha masih berusaha menjelaskan semuanya padaku “Dari awal, saya udah pesimis, saya tau segimana besar perasaan kamu ke Reva, dan saya nggak akan mungkin bisa dapetin hati kamu Ken, saya dan Reva berbeda sekali. Karena saya takut kehilangan kamu jadi saya mutusin buat jadi sahabat kamu. Seenggaknya, saya bisa buat kamu tersenyum setiap hari dan nggak ngeliat kamu sedih aja saya udah senang” semua yang Artha katakan tadi benar-benar membuatku luluh. “Semenjak kejadian malam itu, saya merasa semakin yakin atas perasaan kamu ke saya, dan saya mencoba memberanikan diri buat ngomong sama kamu. Tapi kamu selalu menjauh dari saya, dan baru sekarang saya bisa ngungkapin semuanya” lanjutnya. Aku hanya terdiam mendengarkan semua pengakuan Artha. Disertai suara ombak di pesisir pantai Senggigi dan langit yang kini telah mulai menjingga, aku hanya terdiam tanpa sepatah kata pun. Artha melanjutkan pembicaraannya “Sekarang saya tau, kalau rasa sayang itu datang tanpa pandang bulu, rasa sayang saya ke kamu memang cukup besar Ken, sehingga saya ingin membuat kamu bahagia, meski tanpa memiliki. Karena  Jupiter telah mempersatukan kita di bumi!” aku tersenyum mendengar perkataannya, tanpa disadari air mataku lirih membasahi pipiku yang dari tadi sudah memerah karena menahan haru. Artha cepat-cepat meraih wajahku, dia menyeka pipiku yang basah karena airmata tadi. Sambil terbata-bata, aku pun angkat bicara “Kita harus susun rencana untuk mengalahkan Mayor Wigo dan mengusir alien-alien dari Saturnus itu, lalu kita kirim rencana kita lewat radar pada kapten biar kita cepat kembali ke Jupiter untuk mengamankan tambang berlian merah!” , Artha tersenyum mendengar ucapanku “Sekarang saya janji, saya nggak akan ninggalin kamu lagi, kita bakal terus bersatu dalam ikatan persahabatan ya Ken! Atas nama agen Jupiter, saya serahkan diri saya untuk kamu dan untuk Jupiter” kita berdua pun tertawa bersama. Lembayung langit sore dan ujung ombak Senggigi telah menjadi saksi, betapa besarnya rasa sayang yang kita miliki satu samalain. Semenjak sore itu, aku dan Artha nggak pernah lagi saling berjauhan, aku sadar bahwa aku terbiasa hidup dengannya, begitu pula Artha, dia terlalu terbiasa hidup denganku. Semua ini karena Jupiter. Aku yakin, kapten dan agen-agen yang lainpun akan bahagia melihat aku dan Artha kembali bersatu. Dari bumi, kita berusaha mengembalikan ketentraman di Jupiter melalui cinta dan Radar Jupiter! Hehehe

∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞